
perubahan iklim dan mengurangi kemiskinan.
Temuan ini menumbangkan keyakinan bahwa masyarakat membenci pajak.
Studi yang dipublikasikan di Nature ini justru menunjukkan dukungan kuat dari masyarakat soal penerapan pajak karbon, bahkan jika itu berarti harus membuat mereka mengeluarkan uang dari kantong sendiri.
Hasil studi ini berdasarkan survei skala besar yang melibatkan lebih dari 40.000 responden di 20 negara berbeda, terdiri dari 12 negara berpendapatan tinggi dan 8 negara berpendapatan menengah seperti India dan Ukraina.
Para peneliti menyurvei sedikitnya 1.465 orang di setiap negara selama beberapa minggu pada bulan Mei 2024.
Sebagai informasi, pajak karbon adalah pungutan terhadap emisi karbon dioksida yang punya tujuan membuat emisi menjadi lebih mahal dan mendorong perusahaan serta individu untuk mengurangi jejak karbon mereka.
Adrian Fabre, pemimpin penulis studi, tidak terkejut dengan hasil survei yang menunjukkan dukungan masyarakat terhadap pajak iklim.
Penelitian-penelitian sebelumnya juga sudah menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap kebijakan ekonomi yang bertujuan mengatasi perubahan iklim sebenarnya lebih tinggi dari perkiraan.
Mengutip Grist, Selasa (24/6/2025), studi ini menguji reaksi orang mengenai pajak karbon global yang menanyakan pendapat: makin besar kontribusi seseorang terhadap perubahan iklim, makin besar pula yang harus mereka bayar dan sebagai gantinya, setiap orang di dunia akan menerima 30 dolar AS per bulan.
“Orang-orang dengan jejak karbon lebih besar dari rata-rata dunia akan rugi secara finansial, dan mereka yang memiliki jejak karbon lebih rendah dari rata-rata dunia akan untung,” kata Fabre.
Hasil studi menemukan, Jepang menunjukkan dukungan tertinggi, dengan 94 persen responden mendukung gagasan untuk menghubungkan kebijakan yang memerangi ketimpangan dan perubahan iklim.
Namun, kebijakan pajak karbon ini paling tidak populer di Amerika Serikat, di mana rata-rata orang bertanggung jawab atas sekitar 18 ton CO2 per tahun.
Sebaliknya, dukungan mencapai 75 persen di seluruh Uni Eropa, di mana emisi per kapita adalah 10 ton.
“Orang-orang di negara-negara berpenghasilan tinggi mau sedikit mengurangi kemampuan mereka untuk membeli barang atau jasa asalkan pengorbanan mereka akan membantu menyelesaikan perubahan iklim dan kemiskinan global,” kata Fabre.
Namun, studi juga mencatat, meski suatu kebijakan seperti pajak karbon mungkin didukung pada awalnya, popularitasnya bisa menurun setelah diterapkan.
Ini pernah terjadi pada pemerintah Kanada yang menerapkan pajak pada bahan bakar fosil. Awalnya, pada 2019 banyak orang mendukung rencana ini. Akan tetapi dukungan menurun drastis ketika harga bahan bakar mulai naik sehingga kebijakan dibatalkan awal tahun ini.
Fabre menambahkan, terlepas dari apakah penetapan harga karbon adalah solusi terbaik untuk masalah iklim dunia, ada satu hal penting yang jelas, yakni orang-orang cenderung lebih mendukung kebijakan iklim yang juga membantu mengatasi kemiskinan.
“Kebijakan yang mengurangi kesenjangan ekonomi sangat disukai masyarakat. Jika kebijakan ekonomi digabungkan dengan kebijakan iklim, maka kebijakan iklim akan menjadi lebih populer,” katanya.
Tinggal apakah pemerintah benar-benar memahami dan akan menerapkan kebijakan ganda tersebut.