Presiden RI Prabowo Subianto dalam Pleno KTT ke-46 ASEAN di Malaysia, Senin (26/5/2025).

Lihat Foto

RUPTL) PT PLN 2025-2034 tidak sejalan dengan janji transisi energi presiden.

Pasalnya, RUPTL tersebut masih memasukkan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas total 16,6 gigawatt (GW).

Dalam KTT G20 di Brasil, Presiden Prabowo Subianto sempat menyatakan keinginan Indonesia berhenti menggunakan pembangkit fosil pada 2040.

“RUPTL ini merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia,” ungkap Tata dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).

“Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan,” imbuh dia.

Tata menjelaskan, porsi energi terbarukan dalam RUPTL terbaru diklaim mencapai 76 persen, dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi hijau direncanakan mencapai 42,6 GW atau 61 persen dan fasilitas penyimpanan listrik sebesar 10,3 GW.

Rencana kelistrikan hijau memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir 500 megawatt (MW) pada 2032-2033, masing-masing 250 MW di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Selain itu, perencanaan listrik nasional juga memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 6,3 GW dan gas 10,3 GW, setara 24 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit.

Tata berpandangan PLN perlu merevisi RUPTL dalam kerangka industrialisasi hijau, di mana industri EBT mendorong industri manufaktur Indonesia.

Dia berpandangan, pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, serta kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

“Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru,” ucap Tata.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menuturkan RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil yakni batu bara dan gas. Menurut dia, keputusan itu menjadi kendala bagi iklim investasi energi terbarukan.

“Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi,” papar Bhima.

Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang akan membuat daya saing Indonesia tertinggal. Selain itu, berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi.

“Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8 persen? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” kata Bhima.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *