
angka kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan World Bank.
Data World Bank 2024 menyatakan 60,3 persen atau 172 juta jiwa di Indonesia masuk kategori miskin, sedangkan BPS mencatat hanya 8,5 persen atau 24 juta penduduk Indonesia berkategori miskin.
Celios menyebut, perbedaan data dikarenakan BPS menggunakan metodologi sama di hampir lima dekade terakhir.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menjelaskan bahwa pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS merujuk pada dua pilar lama yakni garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berbasis pengeluaran.
“Ini pendekatan yang sah di era 70-an, tetapi tidak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan di era modern. Pendekatan ini gagal merepresentasikan tantangan kontemporer seperti beban utang, ketimpangan akses layanan publik, hingga tekanan finansial rumah tangga kelas menengah,” ujar Media dalam diskusi daring, Rabu (28/5/2025).
Menurut dia, warga yang terlilit utang pinjaman online ataupun terpaksa menjual harta benda demi menghidupi keluarga sering kali tidak tercatat sebagai orang miskin. Pengeluran tinggi golongan tersebut justru dianggap sebagai tanda kesejahteraan.
Media mengatakan, permasalahan pendataan makin kompleks ketika skema penduduk referensi dalam perhitungan garis kemiskinan berasal dari kelompok rentan yang mengalami penurunan daya beli.
“Hal ini menyebabkan garis kemiskinan tidak naik signifikan, sehingga statistik kemiskinan seolah membaik padahal kesejahteraan memburuk,” ucap dia.
Alhasil, kebijakan alokasi anggaran maupun skema bantuan sosial bisa tidak seusai dengan target. Inilah yang menyebabkan persentase anggaran perlindungan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai bahwa permasalahan terkait data yang akurat menyebabkan stimulus pemerintah kurang efektif. Bantuan Subsidi Upah yang berlaku Juni-Juli 2025, misalnya, menciptakan ketimpangan antara pekerja formal dan pekerja informal.
“Data Bantuan Subsidi Upah itu dasarnya data BPJS Ketenagakerjaan, dan pada saat pandemi dulu banyak pekerja informal dikecualikan dari BSU. Sepertinya saat ini mengulang kesalahan yang sama di mana banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojol, dan pekerja outsourcing tidak mendapat BSU karena persoalan pendataan,” jelas Bhima.
Oleh karenanya, Celios mengusulkan beberapa langkah agar pemerintah melakukan redefinisi cara mengukur kemiskinan. Bhima menerangkan, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan berbasis disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi.
Pendekatan itu mencerminkan kondisi kesejahteraan rumah tangga secara lebih realistis dan adil, serta dapat mengakomodasi faktor geografis, beban generasi sandwich, hingga kebutuhan dasar non makanan.
Sebagai contoh, Uni Eropa telah menerapkan pendekatan hidup yang layak sebagai parameter kemiskinan. Indikatornya tidak hanya berbasis pendapatan, tetapi juga mencakup literasi, kesehatan, pengangguran, hingga tingkat kebahagiaan.
“Kedua, menyepakati bahwa data kemiskinan adalah alat evaluasi kebijakan, bukan alat politik. Data kemiskinan seharusnya digunakan untuk menilai efektivitas sistem pajak dan bantuan sosial dalam mengurangi kemiskinan,” tutur Bhima.
“Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, pemerintah dapat mengukur secara akurat efektivitas kebijakan redistribusi,” imbuh dia.
Pihaknya berpandangan, apabila program Makan Bergizi Gratis, PKH, atau subsidi pupuk tidak menurunkan kemiskinan secara signifikan maka program tersebut perlu dievaluasi atau bahkan dihentikan.
Selain itu, perlu adanya Peraturan Presiden (Perpres) tentang pendekatan baru dalam pengukuran kemiskinan. Perpres baru akan menjadi dasar koordinatif lintas lembaga dalam menyusun indikator baru, memperkuat integrasi data, serta menyelaraskan seluruh program pengentasan kemiskinan secara nasional.