
Dokumen tersebut menjadi panduan utama dalam perencanaan penyediaan listrik nasional selama satu dekade ke depan, termasuk proyeksi permintaan serta strategi pemenuhan kebutuhan energi listrik Indonesia.
Menurut RUPTL, permintaan listrik nasional diperkirakan melonjak 67 persen—dari 306 TWh pada 2024 menjadi 511 TWh pada 2034. Untuk mengimbangi lonjakan ini, PLN menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW.
Sebagian besar pembangkit baru yang direncanakan—sekitar 61 persen—akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Rincian kontribusinya mencakup 17,1 GW tenaga surya, 11,7 GW tenaga air, 7,2 GW tenaga angin, 5,2 GW tenaga panas bumi, dan 0,9 GW bioenergi. Selain itu, PLN juga menggarisbawahi pentingnya penyimpanan energi, dengan rencana kapasitas mencapai 10,3 GW.
Menanggapi peluncuran ini, lembaga think tank energi EMBER menyampaikan bahwa RUPTL tersebut masih kurang ambisius. Meski demikian, dokumen itu tetap membawa harapan dalam upaya transisi energi Indonesia.
“Kami menyambut baik RUPTL PLN 2025–2034 ini dengan beberapa catatan,” kata Analis Senior Iklim dan Energi EMBER, Dody Setiawan, kepada Kompas.com, Selasa (27/5/2025).
Ia mencatat bahwa meski target pembangkit EBT kali ini lebih tinggi dibandingkan RUPTL sebelumnya, ambisinya masih tertinggal jika dibandingkan dengan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dari Just Energy Transition Partnership (JETP).
Dody juga menyoroti tantangan implementasi. Berdasarkan pengalaman RUPTL sebelumnya, banyak target pembangunan yang tidak terealisasi. “Oleh karena itu, diperlukan timeline pengadaan proyek yang jelas serta dukungan pemerintah yang kuat,” ujarnya.
Selain itu, masih adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) juga menjadi sorotan. Namun menurut Dody, hampir seluruh proyek PLTU yang tercantum dalam RUPTL saat ini merupakan lanjutan dari RUPTL 2021–2030.
“Hal ini sesuai dengan amanat Perpres 112/2022 dimana tidak ada penambahan PLTU ongrid. Bulan Februari 2025 lalu kami memperkirakan masih ada pembangunan PLTU ongrid sekitar 6,6 GW antara 2024 sampai dengan 2030 (merujuk RUPTL 2021). Dan pada tahun 2024, data ESDM menunjukkan hanya ada penambahan PLTU ongrid sebesar 432 MW. Artinya masih ada sekitar 6,1 GW PLTU yang belum beroperasi. Hal ini tidak berbeda jauh dari rencana penambahan PLTU di RUPTL 2025–2034, yaitu 6,3 GW,” jelasnya.
Meski begitu, ia menilai RUPTL terbaru membawa arah yang lebih jelas terhadap transisi energi Indonesia.
“Peluncuran RUPTL 2025–2034 membawa harapan baru bagi transisi energi Indonesia. Dengan permintaan listrik yang akan meningkat dan adanya larangan pembangunan PLTU baru, proses pengadaan dan pembangunan proyek energi terbarukan yang tepat waktu sangat krusial untuk menjamin ketahanan energi nasional di masa depan,” katanya.
Selain menjadi peta jalan energi, RUPTL juga membuka peluang ekonomi. Dokumen ini diproyeksikan menciptakan lebih dari 836.000 lapangan kerja baru, mayoritas di antaranya adalah pekerjaan hijau.
Untuk merealisasikan seluruh proyek dalam RUPTL 2025–2034, dibutuhkan investasi besar, yakni sekitar USD 182 miliar. Angka ini mencakup kebutuhan pembangunan pembangkit listrik serta ekspansi jaringan transmisi.
Menurut Dody, besarnya kebutuhan investasi ini seharusnya menjadi sinyal kuat bagi konglomerat energi dan lembaga keuangan di Indonesia untuk mulai meragamkan portofolio bisnis mereka dan meninggalkan ketergantungan pada energi fosil.
“Perubahan ini tidak hanya menguntungkan bagi lingkungan, tetapi juga membantu perusahaan menghadapi tantangan finansial dan regulasi—termasuk risiko dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan pasar yang tidak stabil,” tambah Dody.