
Pabrik yang terletak di pinggiran Kota Makassar — ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan — itu berjarak lebih dari satu jam dari desanya di pesisir Kabupaten Maros. Di sanalah Indah bekerja sebagai buruh kasar, seperti anak muda kebanyakan di desanya.
Meski tinggal di desa, Indah tak punya tanah atau lahan untuk bertani. Perubahan besar-besaran di lanskap pedesaan akibat urbanisasi, pertambangan, ekspansi komoditas, dan pembangunan infrastruktur telah menggusur lahan pertanian yang dulunya subur.
Imbasnya, hanya sedikit orang di Maros yang bisa hidup layak dari lahan pertanian. Sementara itu, pilihan pekerjaan di luar pertanian amat terbatas dan kurang menjanjikan.
Kisah Indah adalah gambaran kehidupan banyak orang muda pedesaan di Indonesia. Mereka menghadapi dilema mencari jalan baru untuk menghidupi diri, ketika pertanian tidak bisa lagi dilihat sebagai masa depan yang menjanjikan.
Untuk memahami bagaimana kehidupan, harapan, dan aspirasi anak muda pedesaan berubah, kami melakukan studi lapangan mendalam di empat desa di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di tiap desa, kami mendengar cerita serupa: anak muda menghadapi tantangan besar mengejar mimpi mereka di tengah segala keterbatasan.
Dalam beberapa dekade terakhir, Kabupaten Maros mengalami perubahan agraria dan ekonomi yang pesat. Pembentukan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung telah membatasi akses masyarakat lokal terhadap hutan kemiri yang menjadi sumber penghasilan mereka sebelumnya.
Di samping itu, alih fungsi sawah menjadi tambak saat udang sedang booming pada dasawarsa 1990-an membuat tanah tak lagi subur. Akibatnya, masyarakat mesti bergantung pada komoditas yang tidak stabil.
Perubahan-perubahan ini, ditambah dengan ekspansi tambang, rel kereta api, pabrik, dan pembangunan perumahan di atas lahan pertanian produktif, membuat kaum muda di pedesaan Maros tidak lagi melihat mata pencaharian berbasis lahan sebagai pilihan. Mereka kini beralih mencari peluang di sektor ritel, manufaktur di perkotaan, atau ‘kabur’ ke pulau lain.
Kondisi ini sekaligus membuat kaum muda semakin giat mengejar pendidikan sebagai jalan menuju pekerjaan “modern” di luar sektor pertanian. Setidaknya mereka berupaya untuk menamatkan jenjang SMA supaya bisa bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pelayan atau kasir toko, atau pekerjaan lainnya.
Meski begitu, ijazah pendidikan mereka juga belum tentu menjamin jalan mulus menuju pekerjaan yang harapkan. Apalagi kondisi pasar kerja saat ini sering kali tidak begitu ramah pada lulusan muda yang belum punya pengalaman kerja. Oleh karenanya, banyak anak muda harus kerja kasar atau mencari jalan untuk mendapatkan uang, seperti membuka usaha sendiri sampai ‘kabur’ ke kota atau bahkan ke luar negeri.
Menjadi buruh pabrik di kawasan industri Makassar kini banyak menjadi pilihan kaum muda pedesaan, terutama bagi mereka yang tidak punya tanah atau ijazah pendidikan tinggi.