
pertambangan nikel, dampaknya pun turut meningkat, baik secara ekologis, sosial, maupun psikologis.
Berbeda dari aktivitas harian, pertambangan melibatkan pembukaan lahan dalam skala luas dan penggunaan bahan kimia dalam pengolahan mineral, yang berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila publik menaruh perhatian kritis terhadap aktivitas ini. Namun demikian, kritik yang sehat seharusnya didasarkan pada informasi yang akurat, bukan asumsi atau prasangka.
Di Indonesia, operasi tambang tidak berlangsung di ruang hampa hukum. Ada berbagai regulasi yang mengatur bagaimana tambang harus beroperasi secara teknis dan sosial. Sebut saja: UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta regulasi lingkungan seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan berbagai Peraturan Menteri ESDM dan KLHK yang mengatur mulai dari reklamasi, pengelolaan limbah B3, hingga keterlibatan masyarakat.
Namun, regulasi yang baik hanya akan bermakna bila dijalankan dengan amanah. Dalam konteks pertambangan, amanah berarti perusahaan tidak hanya mematuhi dokumen izin dan AMDAL secara administratif, tetapi juga menerapkan prinsip-prinsip etika, transparansi, dan tanggung jawab sosial secara nyata di lapangan.
Lebih jauh lagi, masyarakat sekitar tambang tidak bisa diposisikan sekadar sebagai penerima dampak atau objek bantuan sosial. Mereka adalah bagian dari ekosistem pertambangan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan komunikasi yang dilakukan perusahaan harus bersifat dialogis, bukan satu arah. Sosialisasi yang hanya menginformasikan tidak cukup untuk membangun kepercayaan. Yang dibutuhkan adalah komunikasi dua arah yang mendengarkan, menjawab kekhawatiran, dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, ketika perusahaan memasang sistem pemantauan kualitas air dengan sensor dan parameter kimia, itu merupakan langkah baik. Namun, langkah tersebut tidak akan berdampak besar apabila masyarakat tidak memahami arti dari istilah teknis seperti “kromium heksavalen” atau “pH air”. Di sinilah pentingnya literasi lingkungan dan sains.
Edukasi publik yang dilakukan secara konsisten dan sesuai dengan konteks lokal dapat menjadi jembatan antara kemajuan teknologi dan pemahaman masyarakat.
Di tengah maraknya disinformasi dan hoaks di media sosial, penguatan literasi masyarakat sekitar tambang menjadi sangat krusial untuk mencegah konflik berbasis kesalahpahaman. Hoaks mudah menyebar ketika komunikasi dari perusahaan atau pemerintah bersifat kaku, tertutup, atau tidak responsif.
Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat (community development) tidak boleh hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur atau bantuan materil. Program tersebut perlu mencakup penguatan kapasitas berpikir kritis, keterampilan berdiskusi, dan pemahaman teknis agar masyarakat mampu menjadi mitra sejajar dalam menjaga keberlanjutan tambang.
Pada akhirnya, kita semua memang mengambil dari alam dan menyebabkan dampak lingkungan, meski dalam kadar yang berbeda.
Perbedaannya terletak pada skala dan tanggung jawab. Oleh karena itu, pertambangan nikel dan seluruh kegiatan ekstraktif lainnya harus mampu menjadi contoh bahwa aktivitas berskala besar tidak harus identik dengan kerusakan besar. Hal ini hanya dapat dicapai jika kegiatan dilakukan secara amanah, akuntabel, dan partisipatif.
Di tengah maraknya disinformasi dan berita hoaks di media sosial, penguatan literasi masyarakat sekitar tambang menjadi kunci untuk mencegah konflik berbasis salah paham. Hoaks mudah menyebar ketika komunikasi dari perusahaan atau pemerintah lemah, kaku, atau tidak transparan. Community development seharusnya tidak hanya berupa pembangunan fasilitas atau pembagian bantuan, tetapi juga mencakup pembangunan kapasitas berpikir, keterampilan berdiskusi, dan pemahaman teknis.
Upaya ini dapat diperkuat melalui kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil, dalam mendesain program literasi yang kontekstual. Dengan begitu, masyarakat bisa menjadi mitra sejajar dalam keberlanjutan tambang.
Akhirnya, kita semua memang “merusak” lingkungan dalam kadar tertentu. Bedanya adalah skala dan tanggung jawab. Padahal, jika dijalankan dengan integritas dan pendekatan partisipatif, pertambangan bukan hanya menjadi sumber daya ekonomi, tetapi juga contoh praktik pembangunan yang bertanggung jawab.