Ilustrasi perempuan adat

Lihat Foto

perempuan adat, memiliki peran penting dalam kedaulatan pangan dan keberlanjutan sosial. Namun, peran tersebut kerap kali diabaikan, hak-hak perempuan adat tidak diperhatikan.

Hal ini disampaikan oleh Laksmi Adriani Savitri, peneliti dari Center for Restoration and Regeneration Studies (CRRS), dalam diskusi publik bertajuk “Pengesahan UU Masyarakat Adat dan Jalan Pulang Daulat Pangan”, Senin (21/7/2025).

Menurut Laksmi, perempuan sering kali diberikan tugas-tugas yang dianggap wajar secara adat, agama, maupun norma sosial, yaitu tugas untuk menjaga keberlangsungan hidup. Dalam kajian sosial, ini dikenal sebagai bagian dari proses reproduksi sosial.

“Masalahnya, kenapa peran penting perempuan dalam reproduksi sosial ini justru dilihat sebagai tugas, seolah-olah itu kewajiban yang dibebankan, bukan sebagai hak?” ujar Laksmi.

Ia menjelaskan bahwa berdasarkan pengamatannya, perempuan punya peran besar, bukan hanya dalam merawat benih, membuat pupuk, dan menjaga tanaman. Mereka juga memasak hasil panen hingga tersaji di meja makan, dan bahkan memikirkan bagaimana caranya menghasilkan pendapatan dari kerja mereka.

“Karena itu, saya ingin kita mulai melihat peran perempuan dalam reproduksi sosial ini sebagai hak, bukan beban. Sebab, kehidupan bisa terus berlanjut hingga esok hari karena ada peran besar yang dimainkan oleh perempuan di dalamnya,” ujar Laksmi.

Tidak hanya itu, pengetahuan perempuan adat juga memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologis dan sosial secara berkelanjutan.

Laksmi mencontohkan praktik egek, sebuah sistem seperti sasi, yang dijalankan oleh perempuan adat untuk memanen kekayaan alam laut atau sungai dengan tempo dan jumlah yang dibutuhkan saja.

“Mereka tau kata cukup dan memberi waktu bagi alam untuk kembali beregenerasi, agar bisa cukup untuk menghidupi semua secara berkelanjutan,” jelasnya.

Momen ketika egek dibuka dan panen dilakukan juga menjadi peristiwa sosial-ekologis penting. Hari panen tersebut dirayakan seperti hari besar, layaknya Lebaran atau Natal. Setelah panen selesai, wilayah itu kembali ditutup hingga waktu panen berikutnya.

Menurut Laksmi, hanya perempuanlah yang menjalankan egek, merawat alam, menentukan waktu panen, dan mengatur proses pemulihannya.

Namun, meskipun memainkan peran besar ini, perempuan masih menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik di tingkat rumah tangga maupun negara.

“Jika seorang perempuan tidak memasak makanan atau tidak melakukan pekerjaan domestik, mereka bisa mendapat sanksi, bahkan kekerasan di tingkat rumah tangga,” kata Laksmi.

Di tingkat negara, ancaman yang dihadapi perempuan tidak kalah nyata. Tanpa adanya perlindungan hukum yang tegas, seperti melalui Undang-Undang Masyarakat Adat, banyak perempuan yang terancam kehilangan akses terhadap tanah dan tidak bisa lagi melakukan kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan mereka.




Laksmi mencontohkan seorang perempuan adat bernama Mama Selly dari suku Moy di Desa Sakarun, Sorong. Meski tidak memiliki tanah, ia masih bisa tinggal di pinggir pantai karena sistem masyarakat adat mengizinkannya untuk hidup di sana. Ia juga bisa mengakses tanah pertanian, meski bukan milik suami atau keluarganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *