Presiden AS Donald Trump.

Lihat Foto

Donald Trump, menyatakan bahwa produk-produk Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat akan dikenakan tarif sebesar 19 persen.

“Mereka (Indonesia) akan membayar 19 persen dan kita (AS) tidak akan membayar apapun. Kita akan memiliki akses penuh pada Indonesia, dan kita akan punya beberapa persetujuan yang akan diumumkan selanjutnya,” ungkap Trump seperti dikutip Reuters, Rabu (16/7/2025).

Trump kemudian menyatakan bahwa untuk mendapatkan tarif tersebut, Indonesia harus membeli energi dari Amerika Serikat sebesar 15 miliar dollar AS, 4,5 miliar dollar AS untuk pertanian, dan 50 unit Boeing. Tidak ada jangka waktu yang ditetapkan.

Senin (14/7/2025), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa Indonesia memang berencana membeli migas dari AS sebesar Rp 251 T dengan syarat Indonesia mendapatkan keringan tarif.

Permasalahannya adalah, Vietnam mendapatkan keringanan tarif dari sebelumnya 46 persen menjadi 20 persen setelah lobi. Indonesia semula mendapatkan tarif 32 persen dan turunnya tak sampai separuh, hanya jadi 19 persen.

Dengan pertimbangan itu, masih worth it kah mengeluarkan Rp 251 T untuk impor migas guna mendapatkan keringanan tarif? 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai bahwa negosiasi dengan impor energi banyak merugikan posisi Indonesia, terutama karena ketidakseimbangan perlakuan tarif antara produk ekspor Indonesia dan produk impor dari AS.

“Tarif ekspor 19 persen untuk produk Indonesia ke AS, sementara produk AS bisa masuk dengan tarif 0 persen, berisiko besar terhadap neraca dagang Indonesia,” ujar Bhima kepada Kompas.com, Rabu.

Bhima menjelaskan, meskipun beberapa komoditas ekspor seperti alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet mendapatkan penurunan tarif menjadi 19 persen, hasil ini masih kalah dibanding negara seperti Vietnam yang berhasil menekan tarif dari 46 persen menjadi 20 persen. 

“Negosiasi Vietnam jauh lebih efektif. Idealnya, tarif Indonesia bisa ditekan lebih rendah lagi,” lanjutnya.

Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa dengan skema ini, potensi impor dari AS justru akan melonjak, terutama di sektor migas, elektronik, suku cadang pesawat, serealia seperti gandum, dan produk farmasi.

Selama tahun 2024, nilai impor dari lima kelompok produk ini saja sudah mencapai 5,37 miliar dolar AS atau sekitar Rp 87,3 triliun.

Yang paling disoroti Bhima adalah potensi meningkatnya defisit migas, yang bisa memberi tekanan pada nilai tukar rupiah sekaligus membebani anggaran subsidi energi dalam RAPBN 2026. 

Ia mencatat bahwa pemerintah telah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp 203,4 triliun, sementara kebutuhan riil bisa mencapai Rp 300–320 triliun seiring meningkatnya ketergantungan pada impor BBM dan LPG.

Bhima menegaskan, kondisi itu seharusnya mendorong pemerintah lebih hati-hati. Di luar itu, Indonesia semestinya segera mempercepat transisi energi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *