
Oleh
Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah memasang target bahwa RI bakal mengoperasikan PLTN antara 2030-2032, dengan kapasitas awal 500 megawatt (MW).
Beberapa lokasi yang dinilai cocok adalah Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan Barat. Kedua lokasi tersebut ditaksir memiliki sumber daya radioaktif yang tinggi. PT PLN (Persero) misalnya mengungkap, ada 24,1 ribu ton bahan baku nuklir berupa uranium/thorium di Melawi, Kalbar.
Meski isu ini bak lagu lama, nampaknya dinamika ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia serius memasuki era nuklir. Energi nuklir kini memang banyak dilirik banyak negara karena terbukti menyediakan pasokan listrik secara stabil. Namun, ia juga memantik kontroversi dari sisi keamanan dan menyisakan persoalan besar pengelolaan limbah radioaktifnya.
Limbah nuklir dibagi menjadi tiga jenis, yakni limbah beradiasi rendah/low-level waste (LLW), limbah beradiasi menengah/intermediate-level waste (ILW), dan limbah beradiasi tinggi/high-level waste (HLW). Hal yang perlu jadi catatan, limbah beradiasi rendah sekalipun tidak ramah kesehatan.
- LLW adalah limbah dengan tingkat radioaktivitas rendah, misalnya sarung tangan bekas, alat pelindung, atau peralatan laboratorium yang terkontaminasi ringan.
- ILW memiliki tingkat radioaktivitas sedang, biasanya berasal dari komponen reaktor yang sudah tidak terpakai.
- HLW, yang paling berbahaya, berasal dari sisa bahan bakar reaktor. Walau jumlahnya kurang dari 1 persen total limbah, HLW menyimpan lebih dari 95 persen radioaktivitas dari seluruh limbah nuklir tersebut. Limbah jenis ini sangat panas dan mengandung unsur berbahaya seperti Iodine-129 yang waktu paruhnya (waktu yang dibutuhkan untuk meluruh setengahnya) mencapai jutaan tahun.
LLW dan ILW terbilang masih aman disimpan di fasilitas pembuangan dekat permukaan, meski tetap membutuhkan pengelolaan selama ratusan tahun. Sementara HLW, karena risikonya tinggi, membutuhkan tempat penyimpanan khusus karena memiliki radioaktivitas yang panjang hingga jutaan tahun.
Tanpa penyimpanan limbah permanen, limbah radioaktif tingkat tinggi yang telah diolah sekalipun tetap berisiko mencemari lingkungan (sungai, danau, air tanah) dan memengaruhi kesehatan manusia. Bila terpapar, bisa menyebabkan kanker dan mutasi genetik.
Beragam lokasi pembuangan limbah nuklir telah dikaji para peneliti di dunia, mulai dari lapisan es, zona subduksi, laut dalam, hingga luar angkasa.
Namun, lokasi pembuangan limbah radioaktif tingkat tinggi yang disepakati para peneliti paling aman adalah Deep Geological Disposal (DGD), yaitu tempat pembuangan geologi bawah permukaan tanah.
Ada dua metode utama untuk menyimpan limbah radioaktif tingkat tinggi di perut Bumi:
(1) Mined Repository: menyerupai tambang bawah tanah di kedalaman 400–500 meter. Metode ini sudah matang dan mulai dikontruksi.
(2) Deep Borehole Disposal (pengeboran dalam): menyimpan limbah di lubang bor sedalam hingga 5.000 meter—masih dalam tahap kajian studi kelayakan.