Ilustrasi keluarga

Lihat Foto

JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak IPB University, Yulina Eva Riany, menyoroti fenomena childfree atau keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak, yang belakangan semakin mendapat perhatian di tengah masyarakat Indonesia.

Menurutnya, keputusan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari tekanan finansial seperti tingginya biaya hidup dan pendidikan, dorongan untuk fokus pada karier, hingga alasan personal seperti keinginan menjaga kebebasan, pengalaman masa kecil yang traumatis, atau kondisi kesehatan yang berisiko saat kehamilan dan persalinan.

Di sisi lain, sebagian pasangan juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya baru yang menekankan kebebasan individu serta kekhawatiran terhadap kondisi sosial dan lingkungan global.

Meski dalam jangka pendek keputusan childfree dapat meringankan beban ekonomi keluarga dan negara, Eva mengingatkan bahwa tren ini berpotensi mengganggu keberlanjutan struktur demografi Indonesia.

“Jika tidak diantisipasi, dampaknya bisa serius, seperti menurunnya populasi usia produktif, meningkatnya rasio ketergantungan lansia, dan tekanan berat terhadap sistem layanan publik seperti pensiun dan kesehatan,” ujarnya.

Ia merujuk pada pengalaman negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang tengah menghadapi tantangan akibat penurunan angka kelahiran dalam jangka panjang saat ini.

Oleh sebab itu, Eva mendorong langkah antisipatif, antara lain melalui edukasi tentang pentingnya peran keluarga dan anak dalam keberlanjutan masyarakat.

Selain itu, perlu ada kebijakan yang mendukung pasangan muda — mulai dari bantuan ekonomi, akses merata terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, hingga narasi baru tentang kebahagiaan yang sejalan dengan kehidupan berkeluarga.

Ia juga menekankan pentingnya menciptakan sistem kerja yang ramah keluarga, seperti jam kerja fleksibel, skema kerja jarak jauh, serta cuti orang tua yang setara.

“Edukasi pengasuhan yang melibatkan laki-laki dalam peran orang tua, serta kehadiran figur keluarga muda yang tumbuh bersama anak tanpa kehilangan jati diri, juga perlu diperkuat,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *