Program RER yang diinisiasi produsen kertas PaperOne, APRIL Group, pada 2013, bertujuan untuk menjaga, melindungi, dan memulihkan hutan gambut yang terdegradasi di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, Provinsi Riau.

Lihat Foto

hutan dinilai dapat memperparah krisis iklim.

Hal tersebut disampaikan Sadam Arfian Richwanudin, perwakilan dari Manusia dan Alam untuk Indonesia (MADANI), dalam media briefing “Jadikan UU Kehutanan Adil dan Pelindung Ekosistem Hutan: Hutan Indonesia Bukan Warisan Kolonial”, Senin (14/7/2025).

Menurut Sadam, meski Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam Paris Agreement sejak 2016, hingga kini belum ada undang-undang yang secara menyeluruh melindungi hutan alam, yang merupakan tumpuan utama untuk menghadapi krisis iklim.

“Undang-Undang hari ini masih lebih fokus melindungi kawasan hutan secara administratif, seperti kawasan yang sudah ditetapkan dan APL (Area Penggunaan Lain). Tapi hutan alam, belum benar-benar dilindungi oleh regulasi,” ujar Sadam.

Lebih lanjut, Sadam mengutip data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menunjukkan bahwa sepanjang 2023–2024, sekitar 57 ribu hektare hutan mengalami deforestasi, sebagian besar terjadi di luar kawasan hutan guna. Ini menunjukkan bahwa hutan alam yang tidak memiliki status kawasan formal justru lebih rentan terhadap kehilangan.

Sadam juga menyoroti lemahnya kebijakan moratorium hutan dan gambut yang hanya berbentuk Instruksi Presiden (Inpres). Dari pengamatan di lapangan, deforestasi dan kebakaran hutan tetap terjadi.

“Berdasarkan data kelompok masyarakat sipil, pada 2024 sekitar 39 ribu hektare hutan alam hilang di area moratorium. Artinya, regulasi yang ada saat ini belum cukup kuat untuk melindungi hutan alam yang tersisa,” tegasnya.

Dalam konteks mencapai target FOLU Net Sink, Sadam mengatakan bahwa meskipun luas lahan gambut hanya sekitar 3–5 persen dari permukaan bumi, kemampuannya dalam menyimpan karbon sangat signifikan, mencapai 75 miliar ton, atau lebih dari 30 persen total karbon yang disimpan hutan di Indonesia.

Namun hingga saat ini, UU Kehutanan belum mengatur secara khusus perlindungan terhadap lahan gambut dan lahan tanah mineral lainnya. Sadam menilai, ekosistem vital seperti gambut tidak boleh hanya bergantung pada kebijakan sementara. Norma hukum yang kuat sangat dibutuhkan.

Situasi ini, menurutnya, menjadi alasan mendesak adanya UU Kehutanan yang baru. Aturan tersebut harus tegas dalam melindungi seluruh jenis hutan alam, tanpa terkecuali.

“Misalnya dengan menetapkan bahwa semua jenis hutan alam, apapun statusnya, tidak boleh dibuka untuk kepentingan industri dalam bentuk apapun,” ujar Sadam.

Ia juga menyoroti pentingnya tata kelola hutan yang adil. Keadilan ini mencakup pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh masyarat adat untuk mengelola hutan, sebagai pihak yang selama ini terbukti menjadi penjaga hutan.

“Masyarakat adat adalah garda terdepan dalam menjaga hutan di Indonesia,” katanya.

Menurut Sadam, ketahanan iklim tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial, terutama bagi kelompok rentan yang paling terdampak. Oleh karena itu, UU Kehutanan yang baru harus memuat prinsip keberlanjutan yang juga berpihak pada keadilan sosial ini.

“Kalau aspek-aspek ini terus diabaikan dan tidak segera mendapatkan regulasi yang kuat, masyarakat akan menghadapi krisis yang jauh lebih buruk,” ujarnya.

Sadam menegaskan bahwa hutan dan tata guna lahan adalah instrumen paling penting untuk menghadapi krisis iklim.

Karena itu, perlu adanya UU Kehutanan baru yang disusun dengan perspektif iklim, dengan memasukkan perlindungan hutan alam dan perlindungan terhadap ekosistem penting ke dalam norma-norma hukumnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *