Ilustrasi hutan

Lihat Foto

keadilan dalam tata kelola hutan, terutama keadilan ekologis yang mengakui peran masyarakat adat, keberagaman hayati, dan keberlanjutan lintas generasi.

Hal ini disampaikan oleh Uli Arta Siagian dalam media briefing bertajuk “Jadikan UU Kehutanan Adil dan Pelindung Ekosistem Hutan: Hutan Indonesia Bukan Warisan Kolonial”, Senin (14/7/2025).

Menurut Uli, ada tiga unsur utama yang harus diperlakukan setara dalam pengelolaan hutan, yaitu masyarakat, khususnya komunitas adat dan lokal.

Selanjutnya, alam dan keanekaragaman hayatinya, serta aktivitas ekonomi dan sosial yang menyatu dengan nilai-nilai budaya. Namun selama ini, negara lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dalam kebijakan kehutanan.

“Sekitar 60 persen kawasan hutan dikuasai oleh investasi, sedangkan pengakuan atas wilayah kelola masyarakat masih sangat terbatas,” ujar Uli.

Dalam pengalamannya, Walhi bekerja di kawasan seluas 1,5 juta hektare yang tumpang tindih antara wilayah kelola masyarakat dan kawasan hutan negara.

Namun hanya 16 persen dari wilayah tersebut yang mendapat pengakuan melalui skema perhutanan sosial dalam sepuluh tahun terakhir, meskipun program ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional.

Uli juga menyoroti praktik komodifikasi hutan dan keanekaragaman hayati yang semakin marak, termasuk dalam konteks iklim. Kawasan hutan dibagi-bagi untuk dijadikan kredit karbon, sebagai alat kompensasi emisi dari proyek pembangunan skala besar seperti infrastruktur dan energi. Menurutnya, ini mengubah hutan menjadi aset yang diperdagangkan, bukan ekosistem yang dijaga.

“Kami juga menyoroti impunitas terhadap korporasi yang melanggar hukum,” tambahnya. Uli menyebut sekitar 3,4 juta hektare kebun sawit ilegal berada di dalam kawasan hutan.

Dalam 13 tahun terakhir, negara berkali-kali memberikan pengampunan terhadap pelanggaran ini melalui berbagai aturan, termasuk Perpres No. 5 Tahun 2025. Sementara itu, akses masyarakat terhadap kawasan hutan masih sangat minim.

Kondisi ini menunjukkan bahwa model pengelolaan hutan saat ini sangat tidak adil, bahkan sejak perumusan kebijakan dasarnya. Uli pun menekankan perlunya perubahan total terhadap Undang-Undang Kehutanan agar lebih adil dan berkelanjutan.

Ia memberi contoh ancaman eksploitasi jangka panjang terhadap hutan yang muncul dalam konteks transisi energi dan proyek pangan.

Saat ini, terdapat konsesi tambang batu bara, nikel, dan mineral lain yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Selain itu, proyek food estate yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional juga membuka peluang penggunaan kawasan hutan sebagai lahan konsesi pangan.

“Jika ini berlangsung terus, hutan kita bisa hancur dalam skala besar,” ujar Uli.

Karena itu, menurutnya, UU Kehutanan yang baru harus memuat prinsip-prinsip keadilan. Salah satunya adalah keadilan rekognisi, yang menurutnya bukan sekadar pengakuan simbolik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *