PTBA juga bekerja sama dengan Jasa Marga Group untuk pengembangan PLTS di jalan-jalan tol, salah satunya ruas Tol Bali-Mandara.

Lihat Foto

Potensi ini menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan transisi energi nasional yang berkelanjutan, terutama dalam mendorong kemandirian energi wilayah kepulauan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Namun, langkah menuju sistem kelistrikan yang sepenuhnya berbasis energi terbarukan tidak lepas dari berbagai tantangan teknis.

Hal ini disampaikan oleh Isaac Portugal dari Renewable Integration Security Unit, International Energy Agency (IEA), yang menyoroti pentingnya menjaga ketahanan dan fleksibilitas jaringan untuk mengakomodasi sumber energi terbarukan yang bersifat variabel, seperti tenaga surya dan angin.

“Yang harus diperhatikan adalah teknologi penyeimbang, baik itu baterai, PHES (pump hydro energy storage), ataupun sistem operasi fleksibel, yang semuanya bersifat padat modal (capital intensive),” ujar Isaac sebagai dikutip dari keterangan tertulis IESR, Jumat (4/7/2025).

Menurutnya, perencanaan dan perancangan sistem insentif yang tepat dibutuhkan agar teknologi penyeimbang ini dapat diimplementasikan secara efektif, terutama dalam mendukung integrasi energi terbarukan di wilayah-wilayah terpencil.

Sejalan dengan hal tersebut, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR Abraham Octama Halim menjelaskan bahwa target transisi energi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 cukup ambisius. RUPTL menargetkan penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 42,6 gigawatt (GW), serta 10,3 unit sistem penyimpanan energi (energy storage system).

Dengan target tersebut, Abraham menekankan pentingnya memastikan kesiapan kapasitas jaringan kelistrikan saat ini untuk mendukung integrasi energi terbarukan yang bersifat variabel. Ia menyebut bahwa pembangkitan energi nasional ke depan akan bergeser dari dominasi energi fosil menuju energi terbarukan.

Berdasarkan pemodelan IESR terhadap Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), bauran energi terbarukan variabel diperkirakan meningkat dari 2,4 persen pada 2024 menjadi sekitar 29 persen pada 2060.

“Kenaikan bauran energi terbarukan variabel ini membutuhkan penyeimbang sistem, baik berupa sistem penyimpanan energi seperti baterai, ataupun pembangkit energi yang dioperasikan secara fleksibel,” ujarnya.

Menurut Abraham, teknologi penyeimbang yang dibutuhkan akan berbeda tergantung pada skala waktu operasinya. Oleh karena itu, integrasi teknologi ini ke dalam perencanaan sistem energi menjadi hal krusial agar transisi energi tidak hanya andal secara teknis, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah mulai mengambil langkah konkret dari sisi regulasi.

Asisten Deputi Percepatan Transisi Energi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Farah Heliantina, menyampaikan bahwa pemerintah telah menyederhanakan proses perizinan untuk mendukung percepatan investasi energi terbarukan oleh pihak swasta.

Ia mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 yang baru disahkan, menggantikan PP No. 5 Tahun 2021, memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan prosedur yang lebih ringkas bagi investor.

“Dengan begitu, kontribusi (investasi) pada APBD dan APBN akan meningkat,” ujar Farah.

Upaya ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan di berbagai wilayah, termasuk pulau-pulau yang selama ini mengalami keterbatasan akses energi, sekaligus memperkuat komitmen Indonesia menuju sistem energi yang adil, bersih, dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *