
Masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku meraih penghargaan dari Right Resources International (RRI) melalui gerakan #SaveAru.
Penerimaan penghargaan tersebut diwakili dua tokoh masyarakat adat Kepulauan Aru karena integritasnya dalam menjaga lingkungan dan sumber daya alam.
RRI memilih #SaveAru sebagai gerakan yang memiliki pencapaian luar biasa dari seluruh masyarakat adat se-Asia.
Penilaiannya berdasarkan aksi kolektif dalam menyoroti komitmen terhadap mata pencaharian berkelanjutan, perlindungan alam dan pelestarian pengetahuan tradisional untuk generasi mendatang.
Mika Ganobal selaku masyarakat adat Aru mengatakan, warga di wilayahnya menghadapi ancaman konversi dalam bentuk konsensi sawit, tebu, peternakan, hingga proyek karbon yang tidak transparan.
“Hutan-hutan ini bukan hanya memiliki fungsi ekologis, tetapi juga sebagai ruang hidup sakral yang dikelola berdasarkan aturan adat, relasi spiritual, dan sistem pengambilan keputusan kolektif, sehingga penting kami jaga,” ujar Mika dalam keterangannya, Selasa (1/7/2025).
Sementara itu, Ocha Gealogoy yang turut mendapatkan penghargaan menganggap bahwa tanah merupakan warisan pencipta alam semesta kepada leluhur Aru. Perempuan adat pun menjadi bagian penting dalam perjuangan wilayahnya.
“Sebagai perempuan di Aru, hidup kami bergantung pada hutan dan laut. Kalau alam rusak, kami yang pertama terdampak. Karena itu kami jaga, kami rawat,” tutur Ocha.
Kepulauan Aru merupakan gugusan pulau-pulau kecil di ujung tenggara Maluku yang lebih dari 75 persen daratannya masih berupa hutan alam. Ocha menyatakan, pihaknya tidak menolak pembangunan di atas lahan Aru.
“Kami hanya ingin dihormati, hutan dan laut ini sudah kami jaga jauh sebelum negara ada. Tetapi selama kami tak diakui, kami akan selalu rawan disingkirkan,” jelas Ocha.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Mufti Fathul Barri, menuturkan melalui gerakan #SaveAru, inisiatif akar rumput yang muncul dari kesadaran kolektif akan ancaman serius terhadap tanah adat, masyarakat berhasil menggagalkan rencana maupun operasi pembukaan lahan.
“Ketangguhan mereka dalam menghadang gelombang demi gelombang ancaman ini menjadi bukti nyata bahwa sistem pengetahuan dan tata kelola adat memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan wilayah Aru,” ungkap Mufti.
Dia berpandangan, masyarakat adat menunjukkan tata kelola berbasis adat mampu melestarikan alam secara berkelanjutan. Namun, tanpa pengakuan hukum, perjuangan mereka akan selalu terancam. Karena itu, pihaknya mendorong pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“Negara harus segera sahkan RUU Masyarakat Adat, demi keadilan dan keberlanjutan,” imbuh dia.