Sampah di TPS Sandubaya, Kota Mataram, menggunung, Kamis (1/5/2025).

Lihat Foto

pengelolaan sampah di Indonesia masih sangat bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Menurut Anissa, ketergantungan ini menyebabkan banyak kota dan kabupaten tidak mampu memenuhi standar pelayanan pengelolaan sampah minimum.

Rata-rata alokasi APBD untuk pengelolaan sampah hanya sekitar 0,4 persen di kabupaten dan 2 persen di kota, jauh dari angka ideal minimal 5 persen.

“Dampaknya, banyak fasilitas mangkrak, alat angkut rusak, dan praktik open dumping masih terjadi, meskipun telah dilarang sejak 2013 melalui UU No. 18 Tahun 2008,” ujar Anissa sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya pada Rabu (2/7/2025).

Anissa mengatakan bahwa data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) per April 2025 menunjukkan capaian pengurangan sampah baru 19,7 persen dan penanganan 50,1 persen. Ini masih jauh dari target nasional 30 persen pengurangan dan 70 persen penanganan.

Menurut Anissa, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan pembiayaan sekitar Rp 54–67 triliun untuk belanja modal dalam membangun sistem pengelolaan sampah baru di daerah yang belum memilikinya, serta Rp 7–12 triliun per tahun untuk biaya operasional.

Anissa menyoroti bahwa mayoritas daerah masih menggunakan model pembiayaan publik, di mana pemerintah bertindak sebagai operator dan penyandang dana. Model ini rentan terhadap dinamika politik dan krisis fiskal.

Selain itu, Anissa juga menyoroti tarif retribusi sampah pun masih rendah, dengan tingkat penagihan di bawah 25 persen dari total obyek wajib iuran.

Menurutnya, akar masalah terletak pada sistem pembiayaan yang tidak mandiri dan tidak menerapkan prinsip polluter pays, yaitu pihak yang menghasilkan sampah bertanggung jawab atas biayanya.

Anissa membandingkan dengan sistem pelayanan PDAM, di mana pembayaran langsung menentukan kualitas dan kesinambungan layanan, serta menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sementara pada layanan sampah, dana retribusi masuk ke PAD, lalu dibagi sesuai prioritas daerah, yang seringkali tidak proporsional terhadap kebutuhan pengelolaan sampah.

Contohnya, kebutuhan layanan ideal bisa mencapai Rp 350 miliar, namun hanya Rp 35 miliar yang terkumpul dari retribusi. Sisanya bergantung pada subsidi dari PAD dan alokasi APBD, sehingga tingkat pemulihan biaya rendah dan pengelolaan sampah menjadi tidak berkelanjutan.

Untuk mengatasi masalah pembiayaan pada pengelolaan sampah ini, Anissa menekankan perlunya pembenahan total terhadap sistem iuran (retribusi) pengelolaan sampah. Ia menyebut tiga prinsip utama yang harus diterapkan.

Pertama, full cost recovery, yaitu iuran harus cukup untuk menutupi seluruh biaya pengelolaan sampah yang ideal, bukan asal murah atau sekadar formalitas.

Kedua, 100 persen terkumpul, artinya iuran harus dapat ditagih dan terkumpul sepenuhnya dan ketiga, transparan, di mana masyarakat dapat memantau dan melacak penggunaan dana iuran secara terbuka.

Dengan prinsip ini, pengelolaan sampah dinilai bisa berlangsung lebih adil, efisien, dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *