
pabrik tahu menimbulkan kekhawatiran baru terhadap pencemaran lingkungan dan dampak kesehatan.
Managing Director Energy Shift, Putra Adhiguna, mengungkapkan bahwa sebenarnya sumber energi yang ramah lingkungan tersedia untuk pelaku industri tersebut.
Dia menyebut, kayu bakar, sekam padi, tempurung kelapa kering, hingga kompor berbahan bakar elpiji dapat menggantikan peran plastik dalam proses pembakaran.
Biomassa dari limbah pertanian dan kehutanan seperti jerami, ampas tebu, ranting, hingga serbuk kayu juga bisa dimanfaatkan.
“Mengubah limbah tahu menjadi biogas juga dapat menjadi alternatif bahan bakar untuk produksi tahu,” kata Putra saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/6/2025).
Namun, ia mengingatkan bahwa setiap alternatif tersebut datang dengan tantangannya masing-masing.
Penggunaan tungku tradisional berbahan bakar biomassa, misalnya, tetap menghasilkan emisi karbon jika tidak dilengkapi sistem pembakaran yang efisien.
Sedangkan tantangan utama dari biomassa adalah soal pasokan. Bahan bakar ini hanya efektif jika menggunakan limbah yang memang sudah tidak memiliki nilai guna.
“Misalnya kayu, kalau tidak dipakai untuk biomassa ya tidak ada nilainya lagi dan pada akhirnya tetap akan dibakar juga. Baru itu bisa digunakan,” ujar Putra.
Di sisi lain, bahan bakar yang dianggap paling ramah lingkungan, seperti gas elpiji dan biogas, juga menghadapi kendala besar, yaitu harga.
Penggunaan elpiji dalam jumlah besar tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit, sementara membangun sistem biogas yang dapat menopang seluruh proses produksi juga tidak murah.
“Salah satu alasan para produsen tahu menggunakan limbah plastik adalah harganya yang murah. Belum ada alternatif bahan bakar yang bisa lebih murah dari plastik,” kata Putra.
Untuk mengatasi bahaya penggunaan plastik untuk bahan bakar, pengendaliannya harus serempak dan tidak setengah-setengah.
“Kalau tidak ada pengendalian serempak, sulit melakukan peralihan. Harga bahan bakarnya lebih murah, tahunya jadi lebih murah juga,” tambah Putra.
Selain itu, dibutuhkan juga pengawasan berkala oleh otoritas agar transisi ini benar-benar berkelanjutan.
Adapun, salah satu solusi yang ditawarkan adalah pembangunan dapur produksi skala komunitas.
Di sistem ini, produsen berbagi fasilitas tungku yang lebih efisien dan dilengkapi mekanisme penangkapan karbon agar produksi jadi lebih berkelanjutan secara lingkungan.
“Namun, semua ini tetap harus dimulai dari pengendalian. Kalau semua sudah pakai bahan bakar ramah lingkungan, tinggal pilih mana yang paling efisien dan berkelanjutan,” pungkas Putra.