
RUPTL) 2025-2034 PLN meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil.
Selain itu, rencana tersebut juga dinilai melemahkan ambisi energi bersih Indonesia. Menurut CREA, tenaga listrik berbahan bakar fosil dan gas nasional akan meningkat hingga 40 persen dari 286 terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 406 TWh di 2034.
“Terkait kapasitas pembangkitan, rencana baru mengusulkan penambahan 16,6 GW tenaga fosil baru hingga tahun 2034, memperdalam ketergantungan pada bahan bakar fosil,” ujar Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta, dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).
Di samping itu, target energi terbarukan RUPTL 2025-2034 turun dari RUPTL 2021-2030 yakni 20,9 gigawatt (GW) menjadi 17,0 GW. Artinya, RUPTL baru menurunkan target energi terbarukan sebesar 2,3 GW.
“Alih-alih mempercepat pergeseran menuju penggunaan optimal potensi energi terbarukan Indonesia yang sangat besar, rencana terbaru justru berisiko mengarahkan jaringan listrik nasional lebih bergantung pada bahan bakar fosil,” ucap Lauri.
“Visi Presiden Prabowo untuk menghentikan penggunaan energi fosil secara bertahap pada tahun 2040 sama sekali tidak tercermin dalam rencana ini, dan sayangnya tidak ada jadwal pemensiunan yang jelas,” imbuh dia.
Target energi bersih dalam RUPTL terbaru juga lebih rendah dari Just Energy Transition Partnership Comprehensive Investment and Policy Plan (JETP CIPP) 2023. Lauri menyebutkan, RUPTL menargetkan 10,6 GW energi surya dan angin pada 2030, hanya 40 persen dari 24,3 GW yang diuraikan dalam JETP CIPP.
Pihaknya menggarisbawahi, kendati ada peningkatan dalam target energi terbarukan yang ditetapkan untuk pengembangan di fase kedua (2030-2034), peningkatan semua energi terbarukan dalam fase pertama (2025-2029) lebih lambat dibandingkan target dalam RUPTL 2021-2030.
“Hal ini adalah kemunduran yang disayangkan, mengingat ketertinggalan yang patutnya dikejar akibat implementasi RUPTL 2021-2030 antara tahun 2020 dan 2024 yang jauh dari ambisi yang ditetapkan,” ucap dia.
CREA juga memprediksi, bahan bakar batu bara dan gas akan mendominasi peningkatan kapasitas maupun pembangkitan selama 10 tahun ke depan. Pihaknya menyebut, usulan penghentian bertahap penggunaan batubara dalam dokumen JETP CIPP tidak diadopsi sama sekali.
“Penambahan bahan bakar fosil gas ini berisiko prospek pasokan yang tidak pasti dan mahal, bertentangan dengan visi Presiden Prabowo terhadap swasembada energi dan keekonomian yang efisien,” papar Lauri.
Tak Ada Pengurangan Emisi
Dalam analisisnya, CREA menyatakan pemerintah berisiko kehilangan peluang. Sebab RUPTL baru mencerminkan keraguan terhadap akselerasi energi terbarukan untuk mencapai target yang sejalan dengan iklim, menarik investasi energi bersih, menjamin kemandirian dan daya saing.
Penambahan kapasitas bahan bakar fosil sebesar 16,6 GW dari tahun 2025 ke tahun 2029 serta penundaan peluncuran energi terbarukan sebesar 42,1 GW setelah tahun 2030 pun mengartikan tidak akan ada pengurangan emisi yang signifikan dalam dekade mendatang.
CREA mencatat dampak kesehatan kumulatif terkait polusi udara yang disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara akan mengakibatkan 303.000 kematian dan biaya kesehatan sebesar 210 miliar dollar AS.
Karena itu, analisisnya merekomendasikan penghentian PLTU batu bara lebih cepat di tahun 2040 sesuai target 1,5 derajat celsius pada Paris Agreement.
Lainnya, mengusulkan penyusunan peta jalan pensiun batu bara nasional yang mempertimbangkan dampak kesehatan dan beban ekonomi akibat ketergantungan. Kedua, meningkatkan pengembangan energi terbarukan pada 2025-2029 yang menggantikan batu bara dan gas.
“Diterapkannya pemantauan ketat terhadap pelaksanaan proyek energi terbarukan, mengingat seberapa pentingnya pertanggungjawaban PLN atas komitmen yang tercantum dalam RUPTL,” kata Lauri.