
“Saya dapat pesan dari masyarakat Pulau Gag Nikel untuk sampaikan kepada Bapak Menteri Bahlil, mereka tidak mau Pak Menteri tutup tambang itu, yang masyarakat inginkan itu,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Bupati juga menyatakan bahwa masyarakat adat telah menyetujui kegiatan penambangan nikel.
“Jadi ini masyarakat-masyarakat adat yang punya wilayah-wilayah ini benar mereka sudah tanda tangan persetujuan,” katanya.
Namun, ia juga mengatakan bahwa proses persetujuan tersebut dilakukan tanpa melibatkan pemerintah daerah.
“Mereka lakukan ini tanpa adanya koordinasi, konfirmasi dengan kami yang ada pemerintah,” imbuhnya, seraya menyampaikan bahwa seharusnya pemerintah bisa memberi pemahaman sebelum persetujuan diberikan.
Salah satu alasan masyarakat masih mendukung aktivitas tambang adalah karena belum terlihat adanya pencemaran yang nyata. Sebagian besar air laut dinilai masih jernih.
Menanggapi hal ini, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN, Andes Hamuraby Rozak, menegaskan bahwa dampak pertambangan tidak bisa diukur dalam jangka pendek.
“10–20 tahun mendatang, dampaknya baru akan terasa,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Senin siang.
Andes menjelaskan bahwa dalam jangka panjang, air tanah akan berubah kualitasnya akibat kerusakan vegetasi di atas permukaan tanah.
“Rusaknya tutupan lahan akan mempengaruhi kualitas air tanah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hutan memegang peran penting dalam menjaga kualitas air. Ketika hutan berkurang karena pembukaan lahan, penurunan kualitas air tanah hanya tinggal menunggu waktu.
“Sedimen dari limbah tambang akan merusak terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan. Ini akan menyebabkan migrasi ikan ke tempat yang lebih cocok untuk tinggal,” katanya.
Andes menekankan bahwa dampak lingkungan dari aktivitas manusia sering kali baru terlihat setelah bertahun-tahun berlalu.
Karena itu, ia berharap semua pihak yang memiliki kewenangan dapat memandang Raja Ampat sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh.
Perlindungan tidak bisa hanya difokuskan pada kawasan wisata, melainkan harus mencakup seluruh ekosistem yang saling berkaitan.
Dengan pandangan menyeluruh ini, pengawasan dan tindakan pencegahan dapat dilakukan lebih tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan yang membahayakan keanekaragaman hayati.
“Karena sekali tempat ini rusak, hasil perbaikannya tidak akan pernah sama seperti sedia kala,” pungkas Andes.