
Perubahan iklim yang menyebabkan bencana alam, salah satunya banjir rob, memaksa perempuan di Pekalongan bekerja di sektor informal, menggantikan laki-laki yang umumnya menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam sesi kedua diseminasi hasil penelitian bertajuk Forced Labor and Climate Change: Focus on Women and Children yang digelar secara daring, Rabu (4/6/2025), peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Josefhin Mareta, menjelaskan bahwa kondisi ini dilatarbelakangi oleh para suami yang kehilangan pekerjaan di sektor perikanan dan pertanian akibat banjir rob.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Josefhin dan timnya di Desa Jeruk Sari, Pekalongan, ditemukan bahwa dampak perubahan iklim memberikan pengaruh signifikan terhadap sektor ekonomi dan sosial masyarakat pesisir.
“Banjir rob yang terjadi merusak lahan pertanian dan mengurangi hasil tangkapan ikan nelayan secara signifikan,” jelas Josefhin.
Ia menambahkan, kerusakan lahan dan penurunan hasil tangkapan ikan berdampak langsung pada pendapatan rumah tangga sehari-hari.
Untuk mengatasi hal ini, perempuan terpaksa ikut menopang perekonomian keluarga. Namun, karena keterbatasan pendidikan dan keterampilan, mereka masuk ke sektor informal.
“Sektor informal umumnya hanya membutuhkan pengalaman, tidak memerlukan keterampilan khusus atau tingkat pendidikan tertentu,” jelas Josefhin.
Menurutnya, perempuan pesisir Pekalongan umumnya memiliki kemampuan membatik yang diwariskan secara turun-temurun dari ibu mereka.
Oleh karena itu, banyak dari mereka memilih membatik sebagai pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarga, selain menjadi buruh lepas di pasar atau bekerja serabutan.
“Sayangnya, bekerja di sektor informal tidak cukup menyelesaikan masalah,” tambahnya.
Ketiadaan kontrak kerja, perlindungan hukum atas pendapatan, jaminan sosial, serta asuransi ketenagakerjaan dan kesehatan membuat perempuan semakin rentan tidak mendapatkan hak yang setimpal dengan risiko pekerjaan yang dijalani.
Josefhin menyebutkan bahwa saat ini UMR di Pekalongan saja hanya sebesar Rp 2.500.000, sementara hasil penelitian menunjukkan upah pekerja batik masih di bawah angka tersebut.
Padahal, pekerjaan di industri batik penuh tantangan, termasuk risiko kesehatan.
Membatik biasanya dilakukan di ruangan tertutup yang panas karena pembakaran lilin yang harus berlangsung terus-menerus. Kondisi ini berisiko menimbulkan luka bakar akibat cipratan lilin panas dan memaksa pekerja menghirup asap dari pembakaran lilin yang bersifat kimiawi. Sayangnya, mereka juga tidak dibekali masker oleh pengusaha.
Selain itu, jam kerja yang tidak pasti dan keharusan lembur tanpa upah tambahan juga menjadi masalah karena sistem borongan yang digunakan.