Pembicara dari World Resources Institute (WRI) Indonesia dan HSBC dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2025).

Lihat Foto

Gayo, Aceh, untuk memproduksi kopi spesialti yang berkelanjutan di tengah krisis iklim.

Direktur Program Pangan, Lahan, dan Air WRI, Tomi Haryadi, menjelaskan program tersebut berlangsung pada 2025-2027 untuk menekankan praktik perkebunan kopi berkelanjutan di Kabupaten Bener Meriah.

“Banyak praktik yang dilakukan budidaya kopi gayo di Aceh ini kurang sustainable, karenanya kami tergerak untuk membangun kapasitas komunitas, perangkat masyarakat untuk bisa bersama menciptakan kopi Gayo yang berkualitas tinggi,” ujar Tomi dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2025).

Pihaknya bakal mengintervensi 1.200 hektare hutan desa dengan menerapkan pendekatan good agricultural practices. Tujuannya, untuk mencegah deforestasi hutan yang kerap terjadi karena pembukaan lahan.

“Intervensi seperti perhutanan sosial, agroforestri, good agricultural agroforestry practices yang dikerjakan merupakan salah satu intervensi yang kami lakukan untuk memastikan bahwa konservasi hutan tetap terjaga,” imbuh dia.

Lainnya, petani akan didampingi untuk mengelola sampah bekas panen kopi dengan mengubahnya menjadi bioetanol. Tomi menyebut, selama ini limbah tersebut hanya dibakar dan menimbulkan emisi gas rumah kaca atau GRK.

Hal itu bisa mengurangi maupun menyerap emisi GRK hingga 50 ton per hektare kanopi yang sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim.

“Yang paling penting, harus ada intervensi market, dalam hal ini memberikan keadilan bagi masyarakat untuk mendapatkan harga yang bagus, produksi yang baik, dan penghasilan yang lebih,” ucap dia.

Menurut dia, mayoritas petani yang berada di wilayah Bener Meriah hanya mampu memproduksi kopi sebesar 750 kilogram per hektare. Padahal potensi produksi mencapai 2 ton per hektare.

“Meningkatkan produktivitas adalah salah satu cara yang kami lakukan untuk memberikan kemanfaatan yang lebih besar bagi komunitas (produksi biji kopi) 1,2 hingga 2 ton per hektare,” sebut Tomi.

WRI pun menargetkan keterlibatan perempuan dan pemuda dalam pengelolaan kopi berkelanjutan.

“Intervensi di supply chain juga memberikan skema penghasilan yang lebih tinggi bagi petani dan membuka peluang pasar baru bagi produk mereka yang tentunya akan bernilai jual lebih tinggi ketika mereka lebih sustainable,” tutur Tomi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *