Ilustrasi samudra

Lihat Foto

krisis iklim telah menggandakan durasi gelombang panas laut di seluruh dunia. 

Kondisi itu memperbesar risiko bencana alam, merusak ekosistem laut, dan mengurangi kemampuan laut menyerap emisi karbon.

Gelombang panas laut yang ekstrem bisa memicu badai yang lebih kuat. Contohnya adalah badai pemicu banjir besar di Libya pada 2023 yang menewaskan lebih dari 11.000 orang. 

Para peneliti mengatakan, kemungkinan bencana seperti itu kini 50 kali lebih besar akibat pemanasan global.

Laut yang semakin panas berdampak besar pada ekosistem penting seperti terumbu karang dan hutan lamun (rumput laut). Selain itu, suhu laut yang tinggi membuat laut kurang efektif menyerap karbon dioksida, sehingga mempercepat pemanasan bumi.

Penelitian ini merupakan kajian komprehensif pertama yang mengevaluasi dampak krisis iklim terhadap gelombang panas laut. 

Studi yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini menganalisis data suhu laut sejak 1940 dan membandingkannya dengan model suhu tanpa pemanasan global.

Hasilnya? Pada 1940-an, gelombang panas laut terjadi rata-rata 15 hari per tahun. Kini, jumlahnya melonjak jadi hampir 50 hari per tahun secara global. Bahkan di kawasan tropis seperti Samudra Hindia dan Pasifik Barat, gelombang panas bisa terjadi hingga 80 hari per tahun—atau satu dari setiap lima hari.

Menurut Dr. Marta Marcos, pemimpin studi ini, suhu laut di kawasan Mediterania kini bisa naik hingga 5°C, menjadikannya “seperti berenang di dalam sup”. 

“Satu-satunya solusi adalah mengurangi pembakaran bahan bakar fosil karena lebih dari 90 persen panas tambahan yang terperangkap oleh emisi gas rumah kaca tersimpan di lautan. Jika berhenti menghangatkan atmosfer, Anda akan berhenti menghangatkan lautan,” kata Marcos.

Dr. Zoe Jacobs dari National Oceanography Centre, Inggris, menyoroti bahwa gelombang panas laut tak hanya berdampak ekologis, tapi juga mengancam ekonomi masyarakat pesisir. Industri perikanan, akuakultur, dan pariwisata berpotensi mengalami kerugian jutaan dolar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *