konferensi pers ?Sorotan dari Indonesia untuk KTT G7? pada Senin (16/6/2025).

Lihat Foto

keberlanjutan, dan masyarakat adat dalam tambang mineral kritis.

Dalam desakan yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang sedang berlangsung pada 15–17 Juni 2025 di Kanada, mereka menilai bahwa penyusunan Five-Point Plan terkait keamanan pasokan mineral kritis saja tidak cukup untuk keberlanjutan.

Five-Point Plan yang diluncurkan di Sapporo, Jepang, pada 2023 mencakup rencana jangka menengah dan panjang, rantai pasok yang bertanggung jawab dan diversifikasi, daur ulang dan sirkularitas, inovasi dan substitusi teknologi, serta kesiapsiagaan gangguan pasokan.

Kedua organisasi menilai, desakan soal praktik keberlanjutan dalam tambang mineral kritis penting lantaran Indonesia memainkan peran strategis sekaligus menanggung dampak yang tak sedikit, misalnya dalam kasus tambang nikel.

“Terjadi perampasan tanah, beberapa dengan kekerasan, milik masyarakat adat dan lokal untuk kepentingan perusahaan yang sedang ekspansi,” ujar Rahmat Kottir, Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulawesi Selatan dalam konferensi pers “Sorotan dari Indonesia untuk KTT G7” pada Senin (16/6/2025).

Selain konflik agraria, Ramah juga juga menyoroti dampak lingkungan dari penggunaan energi kotor.

“Emisi karbon yang tinggi akibat penggunaan PLTU batu bara untuk produksi tidak hanya menyebabkan pencemaran air dan udara, tetapi juga degradasi lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat lingkar tambang-industri nikel,” tambah Rahmat.

Koordinator AEER, Pius Ginting, mengungkapkan bahwa pertambangan nikel di Sulawesi dan Halmahera telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan pencemaran air akibat tailing HPAL serta sedimentasi tambang.

Dari sisi sosial, ia juga menegaskan adanya praktik kriminalisasi terhadap warga dan represi terhadap aksi protes.

Oleh karena itu, AEER dan WALHI Sulsel mendesak negara-negara G7 dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok nikel untuk:

  1. Menyusun dan memperkuat kebijakan uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai pasok mineral kritis.
  2. Menghentikan penggunaan energi fosil, baik batu bara maupun gas, dalam proses produksi nikel dan mineral strategis lainnya.
  3. Mendorong perusahaan industri nikel asal G7 menjadi pelopor dalam pengembangan energi terbarukan di kawasan industri nikel.
  4. Menetapkan kuota penggunaan nikel oleh negara G7 dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya rusak lingkungan. 

Menurut mereka, tingginya permintaan nikel memang didorong oleh tujuan transisi energi untuk menanggulangi krisis iklim. Namun, negara-negara maju tidak boleh membebankan biaya ekologis dan sosial dari transisi ini kepada masyarakat dan lingkungan di negara penghasil seperti Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *