Ilustrasi sawit.

Lihat Foto

Laporan terbaru World Economic Forum (WEF), yang dirilis Juni 2025, mencatat bahwa pada tahun 2023 nilai perdagangan bilateral RI–China mencapai rekor 139,41 miliar dollar AS, dengan sawit sebagai komoditas ekspor utama Indonesia ke China, senilai 3,88 miliar dolar AS atau sekitar 4,29 juta metrik ton.

“Indonesia dan China memiliki posisi unik untuk menjadi pemimpin dalam membentuk perdagangan komoditas berkelanjutan di Global Selatan,” ujar Diah Suradiredja, analis pasar independen dan penulis utama laporan tersebut sebagaimana dikutip pada Kamis (26/6/2025).

Meski kedua negara telah menunjukkan komitmen, tantangan struktural tetap besar. Di Indonesia, 41 persen kebun sawit dikelola oleh petani kecil, namun hanya 3 persen yang terdaftar secara resmi. Sementara itu, pabrik mini (mini-mills) yang tidak teregulasi memperparah lemahnya ketelusuran produk sawit.

Di sisi lain, permintaan di China masih sangat sensitif terhadap harga. Produk sawit berkelanjutan seperti yang bersertifikat RSPO atau ISPO belum mendapatkan insentif harga atau permintaan konsumen yang signifikan.

“Ketiadaan insentif dan kesadaran konsumen menjadi hambatan besar bagi adopsi praktik berkelanjutan,” kata Rizal Algamar, Direktur Regional Asia Tenggara dari Tropical Forest Alliance.

Kolaborasi Teknologi dan Keuangan Hijau

WEF memetakan tiga langkah strategis yang dapat segera dilakukan kedua negara. Pertama, pengakuan timbal balik terhadap standar keberlanjutan nasional seperti ISPO dan MSPO.

Kedua, pengembangan insentif keuangan seperti obligasi hijau dan pembiayaan campuran untuk petani kecil.

Ketiga, peluncuran pilot proyek yurisdiksi antara wilayah produksi sawit di Indonesia (misalnya Riau dan Kalimantan Barat) dengan pelabuhan masuk utama di China (seperti Tianjin dan Shanghai).

Selain itu, kolaborasi teknologi dalam digitalisasi ketelusuran dan pemantauan satelit juga digarisbawahi sebagai kunci dalam memperkuat transparansi rantai pasok.

WEF juga menulis bahwa dengan semakin ketatnya regulasi global seperti EU Deforestation Regulation (EUDR), posisi Indonesia dan China dinilai strategis untuk membentuk standar keberlanjutan yang mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang.

“Kemitraan RI-China dapat menjadi model baru untuk perdagangan komoditas yang adil, hijau, dan adaptif terhadap perubahan iklim,” bunyi ringkasan laporan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *