Ilustrasi proses penyerbukan

Lihat Foto

serangga, baik sebagai penyerbuk, pengendali hayati, maupun sumber pangan masa depan.

Dalam pandangannya, serangga memainkan peran penting yang selama ini kerap diremehkan. Salah satu contohnya terlihat dalam proses penyerbukan kelapa sawit, yang menjadi penopang besar perekonomian nasional dengan nilai produksi mencapai Rp 440 triliun per tahun.

“Kelapa sawit tanpa kehadiran serangga penyerbuk akan mengalami penurunan produksi hingga 70–80 persen,” ujar Purnama sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis di laman resmi IPB University pada Senin (2/6/2025).

Ia menambahkan, dari total nilai produksi tersebut, sekitar Rp 300 triliun berpotensi hilang jika tidak ada kehadiran serangga penyerbuk dalam ekosistem kebun sawit.

Beruntung, menurutnya, Indonesia memiliki kondisi ekologi yang masih mendukung keberadaan serangga penyerbuk alami. Ini menjadi keunggulan dibanding negara tetangga seperti Malaysia, yang harus mengimpor serangga Elaeidobius kamerunicus dari Afrika demi menjamin keberhasilan penyerbukan sawit.

“Tanaman kelapa sawit memang berasal dari Afrika, sehingga serangganya pun dibawa dari sana,” jelas Purnama.

Ia menekankan bahwa serangga adalah “pekerja ekosistem” yang sangat vital. Tanpa kehadiran mereka, proses penyerbukan harus dilakukan secara manual, yang hampir mustahil mengingat jutaan hektare kebun sawit tersebar di seluruh Indonesia.

Lebih lanjut, Purnama menyoroti peran serangga dalam konteks pertanian berkelanjutan. Salah satunya sebagai pengendali hayati alami untuk menekan penggunaan insektisida. Ia menyebut contoh sebuah perusahaan gula di Lampung yang berhasil menurunkan penggunaan insektisida hingga 80 persen berkat budidaya serangga predator.

“Ini menunjukkan bahwa serangga tidak hanya penting bagi sawit, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem pertanian secara luas,” ucapnya.

Tidak hanya dalam ekosistem pertanian, Purnama juga menyebut bahwa serangga menyimpan potensi besar sebagai sumber protein masa depan. Ia mengutip pernyataan FAO yang menyebut serangga sebagai sumber protein paling murah dan efisien secara energi.

Menurutnya, sejumlah negara seperti Thailand, Vietnam, dan Tiongkok telah menjadikan konsumsi serangga sebagai bagian dari budaya.

“Mungkin saat ini kita menganggap makan serangga aneh, tapi 20–30 tahun lagi, bisa jadi itu adalah hal yang biasa,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *