
keberlanjutan ekosistem laut, khususnya habitat ikan kerapu, sekaligus mengancam ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat pesisir.
Guru Besar Ilmu Ekologi Pesisir dan Laut IPB University, Dietriech Geoffrey Bengen, menjelaskan bahwa dampak pertambangan terhadap perairan bisa bersifat langsung maupun tidak langsung.
“Salah satu dampak langsung adalah sedimentasi tinggi akibat erosi tanah tambang, yang menyebabkan kekeruhan air. Sedimen tersebut dapat menutup terumbu karang dan padang lamun, dua habitat penting bagi ikan kerapu untuk bertelur dan berlindung,” ujar Dietriech sebagaimana dikutip dari keterangannya di laman IPB University, Sabtu (5/7/2025).
Lebih lanjut, Dietriech mengatakan bahwa limbah tambang yang mengandung logam berat seperti nikel, merkuri, dan arsen dapat menjadi racun bagi biota laut. Telur dan larva kerapu sangat rentan terhadap paparan logam berat ini, yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi hingga pertumbuhan.
Logam berat ini juga dapat terakumulasi dalam tubuh organisme laut dan terus meningkat konsentrasinya dalam rantai makanan, hingga akhirnya berdampak pada manusia.
“Dalam budidaya, kualitas air yang menurun menyebabkan stres pada ikan, meningkatkan risiko penyakit, hingga kematian massal. Ini jelas merugikan secara ekonomi dan mengancam ketahanan pangan masyarakat pesisir,” jelas Dietriech.
Di sisi lain, lalu lintas kapal tambang juga menimbulkan gangguan tersendiri. Kapal-kapal besar dapat merusak alat tangkap nelayan, menimbulkan kebisingan yang mengganggu migrasi ikan, dan meningkatkan risiko pencemaran akibat tumpahan minyak.
Hal ini dapat memicu konflik ruang antara aktivitas industri dan perikanan tradisional.
Padahal, Raja Ampat selama ini dikenal sebagai salah satu pusat produksi ikan kerapu nasional dan internasional.
Menurut Dietriech, wilayah ini merupakan bagian dari segitiga karang dunia, yang menjadi habitat asli kerapu dan ideal untuk perikanan tangkap maupun budidaya.
Pemerintah daerah bersama sejumlah pemangku kepentingan disebut telah menunjukkan komitmennya dalam pengembangan budi daya dan pembibitan kerapu sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.
Sejak 2005, Raja Ampat aktif terlibat dalam perdagangan ikan kerapu hidup, dengan hasil tangkapan alam yang dipasok ke kota-kota besar seperti Makassar dan Kendari, lalu diekspor ke Hongkong dan Tiongkok.
Lebih jauh, Dietriech mengatakan bahwa untuk mendorong produktivitas dan nilai tambah, pemerintah terus menggalakkan penyebaran benih dan penerapan teknologi budidaya secara berkelanjutan.
Namun, keberadaan tambang justru mengancam keseluruhan rantai ini. Kerusakan pada terumbu karang dan padang lamun akibat pertambangan dapat mengganggu rantai makanan alami dan menghambat pertumbuhan benih kerapu, yang ujungnya berdampak pada menurunnya volume produksi dan dapat berdampak pada penghidupan masyarakat pesisir.
Oleh sebab itu, Dietriech menekankan bahwa perlindungan ekosistem laut seperti di Raja Ampat adalah investasi jangka panjang bagi keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat.
“Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata dan pusat produksi kerapu dunia, tapi juga simbol penting dari upaya kita menjaga keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam,” tegas Dietriech.