Nitya Ade Santi,

Lihat Foto

karhutla) masih sering terjadi di Indonesia. Kendati angkanya relatif menurun, jumlah kejadian tersebut masih sangat signifikan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kasus kebakaran hutan dan lahan mencapai 2051 kasus pada 2023, sementara 629 kasus terjadi sepanjang 2024.

Hal ini juga ditambah belum adanya teknologi yang mumpuni dan metode yang dapat mendeteksi jenis-jenis tutupan di lahan yang terbakar.’

Namun, di balik tantangan itu, seorang anak muda Indonesia menghadirkan secercah harapan lewat inovasi berbasis sains dan teknologi untuk menangani dan mengukur dampak dari kebakaran hutan.

Dia adalah Nitya Ade Santi, perempuan kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, yang juga menjadi doktor termuda IPB University.

Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!
Kompas.id

Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!

Lewat disertasinya yang berjudul “Pengembangan Metode Pengukuran Tingkat Keparahan Kebakaran dan Regenerasi Vegetasi Menggunakan Analisis Multi-Waktu Langsung”, Nitya mengembangkan metode baru untuk mendeteksi dampak kebakaran hutan dan lahan secara lebih akurat.

Tak sekadar menghitung luas area yang terbakar, ia mampu mengungkap jenis tutupan lahan yang terdampak, nilai kerugian ekonomi, hingga potensi daya dukung lingkungan yang hilang.

“Selama ini kita hanya tahu luasan lahan yang terbakar, tapi tidak tahu apa yang terbakar. Apakah hutan primer, semak, atau kebun rakyat. Padahal informasi itu sangat penting,” ujar Nitya dalam penjelasan resminya, Rabu (9/7/2025).

Berbekal citra satelit yang dapat diakses secara terbuka, Nitya merancang pendekatan multi-temporal analysis yang memungkinkan otoritas memantau perubahan kondisi lahan sebelum dan sesudah kebakaran.

Dari citra satelit itu pula, dia bisa mendapatkan informasi lebih detail tentang keberadaan lahan tersebut dan menghitung dampak terutama dari sisi ekonomi.

Nitya menambahkan, metodologi ini sebenarnya telah digunakan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara Eropa. Bahkan salah satu unit dari badan antariksa AS, NASA, juga menerapkan teknologi ini.

Namun mengingat kondisi alam tiap negara itu berbeda, standar yang digunakan dalam menganalisis kebakaran juga tak sama.

“Indonesia itu negeri tropis, makanya lebih baik kita punya standar sendiri. Apalagi karakteristik kebakaran hutan di negara tropis dan subtropis ini memang beda,” paparnya.

Selain telah dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi mancanegara, penelitian Nitya menjadi materi acuan bagi Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau saat ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Tak kalah penting, hasil riset Nitya juga menjadi referensi penelitian untuk mengembangkan metode serupa dalam kasus-kasus bencana alam lain, seperti longsor atau banjir dan merekam perubahan tutupan lahan dari waktu ke waktu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *