
peternakan ruminansia di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami defisit suplai daging sapi dan kerbau selama lima tahun terakhir.
Defisit ini bahkan mencapai 263,42 ribu ton pada 2024, yang mendorong pemerintah terus melakukan impor.
Potensi kambing dan domba yang populasinya tergolong tinggi belum dimanfaatkan optimal sebagai penyuplai utama daging nasional.
Pertumbuhan sapi lokal masih rendah, yakni hanya 0,4–0,8 kg per ekor per hari, terutama akibat penggunaan pakan berbasis limbah berserat tinggi.
Sebagai pembanding, sapi impor seperti Brahman Cross dapat mencapai pertambahan bobot 1,2 kg per hari.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, Sri Suharti mengusulkan 3 strategi: integrasi rekayasa nutrisi, efisiensi produksi, dan pengurangan emisi.
Dikutip dari keterangan resmi IPB, Senin (14/7/2025), strategi pertama ialah mengembangkan isolat mikroba dari hewan pemakan tumbuhan asli Indonesia serta ternak lokal seperti sapi Madura dan kerbau.
Mikroba dinilai bisa membantu hewan mencerna serat dari pakan yang berasal dari limbah pertanian.
Salah satu contohnya adalah bakteri Enterococcus faecium yang diisolasi dari feses herbivora.
Saat diuji secara in vitro (di luar tubuh hewan, dalam kondisi laboratorium), bakteri ini terbukti mampu meningkatkan populasi bakteri rumen (bakteri baik untuk pencernaan), memperbaiki kecernaan bahan kering, serta meningkatkan produksi volatile fatty acid (VFA), yaitu asam lemak rantai pendek yang menjadi sumber energi utama bagi hewan ruminansia.
Saat diberikan sebagai probiotik pada sapi Madura, hasilnya bisa menambah berat badan harian sapi hingga 49 persen, dari 0,43 menjadi 0,64 kilogram per hari.
Sri mengatakan, agar probiotik ini bisa disimpan lebih lama, digunakan teknik pengkapsulan. Dengan cara ini, mikroba tetap hidup selama 28 hari di suhu ruang, sekaligus membantu mencerna protein dan menghasilkan asam lemak lebih efisien.
Kedua, memanfaatkan aditif fitogenik, yaitu zat tambahan dari tumbuhan alami yang mendukung kesehatan dan produktivitas ternak.
Sri mengatakan, tanaman seperti lerak, kelor, dan lamtoro mengandung senyawa aktif seperti saponin dan tanin yang dapat menekan emisi metan yang dihasilkan ternak.