Ilustrasi beras. Beberapa merk dari empat produsen beras premium diduga terseret kasus beras oplosan karena melakukan pelanggaran mutu dan takaran beras.

Lihat Foto

beras oplosan yang dicampur dengan bahan kimia seperti pemutih, pewarna, bahkan plastik sintetis kembali mencuat dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Fenomena ini mencerminkan lemahnya pengawasan distribusi pangan dan masih longgarnya perlindungan terhadap konsumen.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Raharjo, mengingatkan bahwa konsumsi beras oplosan dalam jangka panjang dapat berisiko tinggi terhadap kesehatan.

“Beberapa bahan kimia yang kerap ditemukan dalam beras oplosan antara lain klorin atau pemutih, pewangi buatan, hingga parafin atau plastik,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang dimuat di laman resmi UGM, Rabu (24/7/2025).

Menurut Sri Raharjo, zat-zat tersebut digunakan untuk menyamarkan kualitas beras yang sebenarnya rendah agar tampak lebih putih dan menarik. Motifnya semata-mata komersial, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap keselamatan konsumen.

“Klorin misalnya, digunakan untuk menghilangkan warna kusam, tapi zat ini bersifat karsinogenik dan sangat berbahaya bila dikonsumsi dalam jangka panjang,” tambahnya.

Paparan berkepanjangan terhadap zat kimia seperti klorin, pewarna sintetis, dan plastik berisiko memicu kerusakan organ vital seperti hati dan ginjal, serta meningkatkan potensi kanker.

Konsumsi rutin akan menyebabkan akumulasi bahan kimia dalam tubuh yang memperberat kerja sistem detoksifikasi organ. Senyawa seperti hipoklorit bahkan dapat membentuk trihalometan, yang diklasifikasikan sebagai karsinogen oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC).

“Pewarna sintetis seperti Rhodamin B juga dapat menyebabkan sirosis hati atau gagal ginjal jika terakumulasi dalam tubuh,” jelas Sri Raharjo.

Selain menimbulkan gangguan organ, beberapa senyawa kimia dalam beras oplosan bersifat toksik dan bisa memicu peradangan sistemik.

Sayangnya, anggapan bahwa pencucian atau pemanasan bisa membersihkan beras dari zat berbahaya masih banyak diyakini masyarakat. Padahal menurut Sri Raharjo, proses mencuci atau memasak beras tidak sepenuhnya mampu menghilangkan kontaminan.

Ia menjelaskan bahwa hanya sebagian kecil zat yang larut dalam air yang bisa berkurang melalui pencucian. Sementara itu, senyawa seperti formalin tetap bertahan meski dipanaskan dengan suhu tinggi.

“Pencucian mungkin mengurangi pewarna, tapi residu plastik atau klorin tetap tertinggal dan tidak terurai saat dimasak,” jelasnya.

Maka dari itu, Sri Raharjo menyarankan agar masyarakat melakukan pengujian sederhana di rumah untuk membedakan beras alami dan beras oplosan. Indikasi fisik seperti warna yang terlalu putih, aroma kimia, dan reaksi terhadap air atau api bisa menjadi penanda awal.




“Kalau beras direndam air lalu mengambang atau air berubah warna, atau saat dibakar mengeluarkan bau plastik, maka patut dicurigai mengandung bahan berbahaya,” ujar Sri Raharjo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *