Ilustrasi emisi karbon (Pixabay/Pexels)

Lihat Foto

keberlanjutan.

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai langkah ini berisiko menghambat transisi energi dan menjauhkan Indonesia dari target netral karbon pada 2060.

Putra mengatakan, jika impor tersebut hanya untuk menggantikan pasokan dari negara lain dan jumlahnya sesuai kebutuhan hari ini, maka dampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan.

Namun yang patut diwaspadai adalah jika rencana ini justru menjadi pembenaran untuk memperluas konsumsi energi fosil secara besar-besaran.

“Jangan sampai pemerintah mengimpor lebih dari yang kita butuhkan hari ini dan itu jadi pembenaran untuk ekspansi konsumsi gas besar-besaran atas nama memenuhi kuota impor,” ujar Putra kepada Kompas.com, Selasa (15/7/2025).

Dari sisi rencana impor minyak mentah, menurut Putra, selama hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan tidak ada peningkatan dalam jumlah besar, tidak menjadi masalah.

Ia menyadari bahwa sampai hari ini penggunaan minyak dan energi terbarukan masih berjalan berdampingan.

Namun, ia mengingatkan bahwa impor gas dalam jumlah besar bisa memicu pembangunan infrastruktur berbasis gas, seperti pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).

Hal ini justru berisiko menambah beban keuangan negara dan masyarakat karena harga LNG yang tinggi bisa meningkatkan biaya energi dalam jangka panjang.

“Kalau itu terjadi, biaya energi akan melonjak, dan ujung-ujungnya justru jadi beban untuk APBN dan juga masyarakat,” ujarnya.

Putra juga menyoroti sisi impor LPG. Menurutnya, sebenarnya hal itu bisa mulai digantikan dengan kompor listrik, setidaknya di sebagian wilayah.

Jika pemerintah tetap melakukan impor LPG dalam jumlah besar, maka upaya peralihan energi rumah tangga yang lebih bersih akan terhambat.

“Selama ini pemerintah sudah berusaha menekan impor LPG. Kekhawatirannya, kalau impor terus ditambah, langkah itu justru dianggap sebagai pembenaran untuk tidak mendorong peralihan energi rumah tangga yang lebih ramah lingkungan,” kata Putra.

Ia menilai, alokasi dana ratusan triliun rupiah semestinya difokuskan pada penguatan energi terbarukan dalam negeri demi membangun kemandirian dan ketahanan energi jangka panjang.

Rencana impor dalam skala besar justru dikhawatirkan akan mengurangi ruang fiskal dan dukungan terhadap energi bersih yang sedang dikembangkan.

“Dengan impor ini sebenarnya uang sebesar itu justru mengalir ke luar negeri. Dan ini sudah terjadi puluhan tahun. Kalau pola ini diteruskan, akan makin lama makin besar dampaknya,” tegasnya.

Ia menambahkan, risiko dari ketergantungan pada impor energi sangat nyata. Menurutnya, uang rakyat yang digunakan untuk impor tidak memberikan nilai tambah yang berarti bagi perekonomian nasional.

“Uang ratusan triliun yang dibelanjakan untuk impor migas, pada akhirnya tidak menambah nilai bagi Indonesia dan manfaatnya sangat minim bagi perekonomian nasional,” ucap Putra.

Karena itu, ia menilai penting bagi Indonesia untuk mulai mengalihkan belanja energi ke sumber-sumber yang bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan begitu, anggaran besar tersebut bisa digunakan untuk memutar ekonomi nasional dan memperkuat kemandirian energi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *